Translate

Minggu, 23 Oktober 2011

SEMAR: PERWUJUDAN SUNAN KALIJAGA


Masih banyak masyarakat Indonesia yang mengira bahwa Semar adalah ciptaan Sunan Kalijaga. Pendapat tersebut amat keliru karena membaca atau mendengar dari sumber yang salah, atau sengaja memutar balikkan fakta. Tokoh Semar sudah ada pada zaman Pra Islam. Tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.

SEJARAH SEMAR
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.
Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit.
Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.



Kamis, 20 Oktober 2011

WERKUDARA (BIMA/BRATASENA)

BIMA atau Werkudara dikenal pula dengan nama Balawa, Bratasena, Birawa, DEandunwacana, Nagata, Kusumayuda, Kowara, Kusumadilaga, Pandusiwi, Bayuseta, Sena atau Wijasena. Ia putra kedua dari Prabu Pandu, raja negara Astina dengan Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Bima mempunyai 2 orang saudara kandung bernama Puntadewa dan Arjuna, serta 2 orang saudara lain ibu, yaitu Nakula dan Sadewa.
BIMA memiliki sifat dan perwatakan; gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur. Ia memiliki keistimewaan ahli bermain gada dan memiliki berbagai senjata antara lain; Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta, sedangkan ajian yang dimiliki adalah aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu dan Aji Blabakpangantol-antol.
BIMA juga mempunyai pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu; Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggangNagabandadan celana Cinde Udaraga. Sedangkan berbagai anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh/kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan pupuk Pudak Jarot Asem.
Bima tinggal di Kadipaten Jodipati, wilayah negara Amarta. Ia mempunyai 3 orang istri dan 3 orang anak yaitu: 1. Dewi Nagagini, berputra Arya Anantareja, 2. Dewi Arimbi, berputra Raden Gatotkaca, dan 3. Dewi Urangayu, berputra Arya Anantasena.
Bima mempunyai akhir riwayat yang diceritakan, mati sempurna (muksa) bersama ke empat saudaranya setelah berakhirnya perang Bharatayuda,
(Artikel dan gambar diambil dari buku Mengenal Tokoh Wayang jilid Tiga karya Drs. H. Solichin dan Ki Waluyo.)
ARJUNA adalah putra Pandudewanata, raja negara Astinapura dengan Dewi Kunti/Dewi Prita, putri Prabu Basukunti, raja negara Mandura. Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara satu ayah, yang dikenal dengan nama Pandawa. Dua saudara satu ibu adalah Puntadewa dan Bima/Werkudara. Sedangkan dua saudara lain ibu, putra Pandu dengan Dewi Madrim adalah Nakula dan Sadewa.
ARJUNA adalah seorang satria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Durna di Padepokan Sukolima, ia juga sebagai murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi Pandita di goa Mintaraga, bergelar Begawan Ciptaning. Ia dijadikan jago kadewatan membinasakan Prabu niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kayangan Kaindran bergelar Prabu Karitin dan mendapatkan anugerah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain: Gendewa dari Batara Indra, panah Ardadadali dari Batara Kuwera, Panah Cundamanik dari Batara Narada, Panah Pasopati dari Batara Guru.
ARJUNA juga mempunyai pusaka-pusaka sakti lainnya, antara lain: Keris Kyai Kalanadah, Panah Sangkali dari Resi Durna, Panah Candranila, Panah Sirsha, Keris Kyai Sarotama, Keris Kyai Baruna, Keris Pulanggeni diberikan pada Abimanyu, Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani dan Kuda Ciptawilaha dengan cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan,Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama.
ARJUNA mempunyai 18 orang istri dan 16 orang anak. Adapun istri dan anak-anaknya adalah:
Dewi Sumbadra, berputra Raden Abimanyu.
Dewi Larasati berputra Bratalaras
Dewi Srikandi
Dewi Ulupi/Palupi, berputra Bambang Irawan.
Dewi Jimambang, berputra Kumaladewa dan Kumalasakti
Dewi Ratri, berputra Bambang Wijanarko.
Dewi Dresanala, berputra Raden Wisanggeni.
Dewi Wilutama, berputra Bambang wilugangga.
Dewi Manuhara, berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati.
Dewi Supraba, berputra Raden Prabakusuma.
Dewi Antakawulan, berputra Bambang Antakadewa.
Dewi Maeswara, berputra Bambang Priambada.
Dewi Retno Kasimpar.
Dewi Juwitaningrat, berputra Bambang Sumbada.
Dewi Dyah Sarimaya.
Dewi Pamegatsih, berputra Bambang Pamagatrisna.
Dewi Gandawati berputra Bambang Gandawardaya.
Dewi Sulastri, berputra Bambang Sumitra.
ARJUNA juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu: Kampuh atau Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung. Ia juga banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain: Parta (Pahlawan Perang), Janaka (memiliki banyak istri), Permadi (tampan), Dananjaya, Kumbang Ali Ali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Batara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Danaswara (Perayu Ulung) dan Margana (suka menolong).
ARJUNA memilik sifat perwatakan: cerdik, pandai, pendiam, teliti, sopan santun, berani dan suka melindungi yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bharatayuda, arjuna menjadi raja di negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Artjuna di ceritakan, ia muksa (mati sempurna) bersama ke empat saudaranya yang lain.

Sabtu, 08 Oktober 2011

NAKULA SADEWA


NAKULA
NAKULA yang dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat) adalah putra ke-empat Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka.

Nakula lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa (pedalangan Jawa), Nakula juga menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna
Nakula adalah titisan Bathara Aswi, Dewa Tabib.

Nakula mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing.

Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani.

Nakula juga mempunyai cupu berisi, "Banyu Panguripan/Air kehidupan" pemberian Bhatara Indra.

Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia.

Nakula tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta.

Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:

1. Dewi Sayati putri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan

memperoleh dua orang putra masing-masing bernama; Bambang

Pramusinta dan Dewi Pramuwati.

2. Dewi Srengganawati, putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa

yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita,

Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala)

dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung.

Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.

Setelah selesai perang Bharatyuda, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa bersama keempat saudaranya.
SADEWA
SADEWA atau Sahadewa yang dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Tangsen (=buah dari tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan dan dipakai untuk obat) adalah putra ke-lima/bungsu Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan DewiTejawati dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama kakanya, Nakula.

Sadewa juga mempunyai tiga orang saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura, bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna.

Sadewa adalah titisan Bathara Aswin, Dewa Tabib.

Sadewa sangat mahir dalam ilmu kasidan (Jawa)/seorang mistikus.

Mahir menunggang kuda dan mahir menggunakan senjata panah dan lembing.

Selain sangat sakti, Sadewa juga memiliki Aji Purnamajati pemberian Ditya Sapulebu, Senapati negara Mretani yang berkhasiat; dapat mengerti dan mengingat dengan jelas pada semua peristiwa.

Sadewa mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia.

Sadewa tinggal di kesatrian Bawenatalun/Bumiretawu, wilayah negara Amarta.

Sadewa menikah dengan Dewi Srengginiwati, adik Dewi Srengganawati (Isteri Nakula), putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala).

Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Bambang Widapaksa/ Sidapaksa).

Setelah selesai perang Bharatayuda, Sedewa menjadi patih negara Astina mendampingi Prabu Kalimataya/Prabu Yudhistrira.

Akhir riwayatnya di ceritakan, Sahadewa mati moksa bersama ke empat saudaranya

Minggu, 02 Oktober 2011

Pandu Versi Pewayangan Jawa


Dalam pewayangan, tokoh Pandu (Bahasa Jawa: Pandhu) merupakan putera kandung Byasa yang menikahi Ambalika, janda Wicitrawirya. Bahkan, Byasa dikisahkan mewarisi takhta Hastinapura sebagai raja sementara sampai Pandu dewasa.

Masa Muda
Pandu digambarkan berwajah tampan namun memiliki cacat di bagian leher, sebagai akibat karena ibunya memalingkan muka saat pertama kali menjumpai Byasa. Para dalang mengembangkan kisah masa muda Pandu yang hanya tertulis singkat dalam Mahabharata. Misalnya, Pandu dikisahkan selalu terlibat aktif dalam membantu perkawinan para sepupunya di Mathura. Pandu pernah diminta para dewa untuk menumpas musuh kahyangan bernama Prabu Nagapaya, raja raksasa yang bisa menjelma menjadi naga dari negeri Goabarong. Setelah berhasil melaksanakan tugasnya, Pandu mendapat hadiah berupa pusaka minyak Tala.
Pandu kemudian menikah dengan Kunti setelah berhasil memenangkan sayembara di negeri Mathura. Ia bahkan mendapatkan hadiah tambahan, yaitu Puteri Madri, setelah berhasil mengalahkan Salya, kakak sang puteri. Di tengah jalan ia juga berhasil mendapatkan satu puteri lagi bernama Gandari dari negeri Plasajenar, setelah mengalahkan kakaknya yang bernama Prabu Gendara. Puetri yang terakhir ini kemudian diserahkan kepada Dretarastra, kakak Pandu.
Pandu naik takhta di Hastina menggantikan Byasa dengan bergelar "Prabu Pandu Dewanata" atau "Prabu Gandawakstra". Ia memerintah didampingi Gandamana, pangeran Panchala sebagai patih. Tokoh Gandamana ini kemudian disingkirkan oleh Sangkuni, adik Gandari secara licik.

Keluarga
Dari kedua istrinya, Pandu mendapatkan lima orang putra yang disebut Pandawa. Berbeda dengan kitab Mahabharata, kelimanya benar-benar putera kandung Pandu, dan bukan hasil pemberian dewa. Para dewa hanya dikisahkan membantu kelahiran mereka. Misalnya, Bhatara Dharma membantu kelahiran Yudistira, dan Bhatara Bayu membantu kelahiran Bima. Kelima putra Pandu semuanya lahir di Hastina, bukan di hutan sebagaimana yang dikisahkan dalam Mahabharata.

Kematian
Kematian Pandu dalam pewayangan bukan karena bersenggama dengan Madri, melainkan karena berperang melawan Prabu Tremboko, muridnya sendiri.
Dikisahkan bahwa Madri mengidam ingin bertamasya naik Lembu Nandini, wahana Batara Guru. Pandu pun naik ke kahyangan mengajukan permohonan istrinya. Sebagai syarat, ia rela berumur pendek dan masuk neraka. Batara Guru mengabulkan permohonan itu. Pandu dan Madri pun bertamasya di atas punggung Lembu Nandini. Setelah puas, mereka mengembalikan lembu itu kepada Batara Guru. Beberapa bulan kemudian, Madri melahirkan bayi kembar bernama Nakula dan Sadewa.
Sesuai kesanggupannya, Pandu pun berusia pendek. Akibat adu domba dari Sangkuni, Pandu pun terlibat dalam perang melawan muridnya sendiri, yaitu seorang raja raksasa dari negeri Pringgadani bernama Prabu Tremboko. Perang ini dikenal dengan nama Pamoksa. Dalam perang itu, Tremboko gugur terkena anak panah Pandu, namun ia sempat melukai paha lawannya itu menggunakan keris bernama "Kyai Kalanadah". Akibat luka di paha tersebut, Pandu jatuh sakit. Ia akhirnya meninggal dunia setelah menurunkan wasiat agar Hastinapura untuk sementara diperintah oleh Dretarastra sampai kelak Pandawa dewasa. Antara putera-puteri Pandu dan Tremboko kelak terjadi perkawinan, yaitu Bima dengan Hidimbi, yang melahirkan Gatotkaca, seorang kesatria berdarah campuran, manusia dan raksasa.

Naik ke sorga
Istilah Pamoksa seputar kematian Pandu kiranya berbeda dengan istilah moksa dalam agama Hindu. Dalam "Pamoksa", Pandu meninggal dunia musnah bersama seluruh raganya. Jiwanya kemudian masuk neraka sesuai perjanjian. Atas perjuangan putera keduanya, yaitu Bima beberapa tahun kemudian, Pandu akhirnya mendapatkan tempat di surga. Versi lain yang lebih dramatis mengisahkan Pandu tetap memilih hidup di neraka bersama Madri sesuai janjinya kepada dewa. Baginya, tidak menjadi masalah meskipun ia tetap tinggal di neraka, asalkan ia dapat melihat keberhasilan putera-puteranya di dunia. Perasaan bahagia melihat dharma bakti para Pandawa membuatnya merasa hidup di sorga.

FREE DOWNLOAD

Canvas 12

 Subscribe in a reader