Translate

Jumat, 16 Desember 2011

Jatidiri dan Sifat Kepemimpinan KRESNA

Orang mempelajari cerita pewayangan kebanyakan perhatiannya tertuju kepada judul cerita dan isi pokok ceritanya. Tetapi orang sering ingin mempelajari lebih dalam, ingin mengetahui unsur-unsur cerita yang membentuk struktur ceritanya, unsur yang menjadi perhatian mereka antara lain tema dan tokoh.
Bila mengkaji cerita pewayangan, terutama mengenai tokoh-tokoh, amat banyak jumlah tokoh yang diperolehnya. Secara garis besar tokoh cerita pewayangan terdiri dari tokoh dewa dan tokoh bukan dewa. Tokoh dewa dibedakan jenis pria yang disebut dewa atau dewata, dan mendapat sebutan Hyang, Sang Hyang atau Bathara. Jenis wanita, disebut bidadari dan mendapat sebutan Dewi atau Bathari. Tokoh bukan dewa terdiri dari manusia atau yang diindetikkan dengan manussia, raksasa, jin dan setan yang sering disebut lelembut dan hewan, tetapi bukan hewan sembarangan, melainkan hewan jelmaan dewa atau tokoh hewan yang mempunyai kelahiran dan kehidupan luar biasa.
Tokoh-tokoh itu tersebar luas dan didapat dalamn cerita lama dan baru. Secara garis besar cerita pewayangan dapat diurutkan sebagai berikut: Pertama, cerita yang menampilkan tokoh dewa dengan keturunnannya. Kedua, cerita Arjunasasra dan tokoh Ngalengka yang bertitik tolak pada masa kehidupan Dasamuka Ketiga, cerita Rama sesaudara dengan permusuhannya dengan Dasamuka sesaudara. Keempat, cerita yang bersumber pada cerita Mahabarata. Cerita yang bersumber pada cerita Mahabarata terbagi pada masa sebelum kelahiran Pandhawa dan Korawa, pada masa kehidupan Padhawa dan Korawa, dan masa setelah kehancuran Korawa dalam perang Baratayuda. Pada masa kehidupan Pandhawa dan Korawa ini muncul berbagai peristiwa yang banyak diolah dan diciptakan bermacam-macam cerita lakon.
Masyarakat Jawa sangat tertarik kepada cerita Mahabarata, terutama cerita yang menyangkut kehidupan Yudhistira sesaudara dan Duryodana sesaudara. Cerita bermunculan dengan tema cerita yang menampilkan masalah kehidupan dua kelompok keluarga Pandhawa dan Korawa itu.Cerita yang menampilkan masyarakat Pandhawa dan Korawa ternyata banyak melibatkan kelompok masyarakat lain. Cerita pewayangan disusun dan dikarang seperti cerita kehidupan masyarakat sungguhan. Munculah jenis cerita roman, yang bisa disebut roman pewayangan, sejenis roman simbolik.
Para penyusun cerita lakon pewayangan selain melibatkan tokoh kelompok Pandhawa dan Korawa, juga melibatkan kelompok tokoh dari negara Wiratha, Mandura, Dwarawati, Ngawangga dan negara-negra kecil lainnya.Cerita pewayangan yang mengambil latar tempat Ngamarta, Ngastina dan beberapa negara itu banyak melibatkan tokoh terkenal. Tokoh Pandhawa yang terkenal ialah Yudhistira, Wrekodara, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Tokoh Korawa yaitu Duryodana bersama seratus saudara sekandungnya. Tokoh Baladewa dari Mandura, tokoh Kresna dari Dwarawati, dan tokoh-tokoh negara lain serta putra Pandhawa dan Korawa. Mereka banyak terlibat dalam penyusunan cerita lakon mengenai perebutan pewaris kerajaan Ngastina yang amat menarik masyarakat pecinta pewayangan. Tokoh Kresna lebih cenderung kepada pihak Pandhawa.Tokoh Kresna dikenal sebagai manusia jelman dewa, tokoh itu mempunyai banyak cerita dan keistimewaan. Maka termasuk tokoh yang menjadi perhatian masyarakat pecintanya. Demikian besar perhatian masyarakat terhadap tokoh itu, kemudian muncul banyak cerita lakon dengan menampilkan tokoh Kresna. Kelahiran, perkawinan dan beberapa cerita lakon mengangkat tokoh Kresna sebagai tokoh utama. Cerita yang melibatkan warga Padhawa kebanyakan melibatkan Kresna juga.oleh karena itu bila menyoroti tokoh Kresna akan memperoleh gambaran watak dan sikap Kresna dalam berbagai peristiwa.Cerita lakon secara simbolik melukiskan kehidupan masyarakat sekelilingnya atau masyarakat pecintanya. Kresna berkedudukan sebagai raja, anggota keluarga Mandura dan Dwarawati, dan anggota masyarakat. Kresna diberi watak sebagai manusia yang berkedudukan pemimpin dan orang terkemuka. Maka segala sesuatu perwatakannya menjadi cerminan tokoh pemimpin masyarakat pecintanya.

Senin, 28 November 2011

Batara Ganesa


BATARA GANESA
Batara Ganesa terkadang ditulis Ganesya,disebut juga Batara Ganapati,atau Batara Gana,dianggap sebagai Dewa Pendidikan,Sastra,dan Penyebar Ilmu Pengetahuan.Ia adalah anak Batara Guru dari Dewi Umaranti,yang tinggal di kahyangan Glugutinatar.
Batara Ganesa lahir tidak dalam bentuk manusia,melainkan dalam ujud menyerupai gajah,lengkap dengan gading dan belalainya.Hal ini terjadi karena sesaat setelah Batara Guru dan Dewi Uma saling bercumbu kasih,para dewa datang menghadap.Di antara mereka yang datang menghadap adalah Batara Endra yang mengendarai Gajah Airawata.Gajah itu luar biasa besar,sehingga membuat takjub dan kaget Dewi Uma,yang saat itu lagi mengandung.Karena ketakjubannya itu,maka kemudian Dewi Umaranti melahirkan putera yang bentuk dan wajahnya mirip sekali dengan gajah.
Bayi gajah Ganesa ternyata juga memiliki kesaktian luar biasa.Ia dapat mengalahkan raja raksasa Nilarudraka dari kerajaan Glugutinatar,yang datang menyerbu kahyangan.Ketika itu raja raksasa gandarwa itu mengamuk karena lamarannya pada Dewi Gagarmayang ditolak.Setelah dikalahkan,Glugutinatar dijadikan kahyangannya.Dalam pewayangan,pada lakon Batara Brama Krama,Batara Ganesa pernah diruwat oleh Batara Brama sehingga ujudnya menjadi dewa yang tampan,tidak lagi berkepala gajah.Setelah ujudnya berubah,Batara Ganesa dikenal dengan sebutan Batara Mahadewa.Menurut Adiparwa,yaitu bagian pertama dari Mahabarata,Ganesa juga berjasa menjadi juru tulis Empu Wyasa yang mengarang kitab Mahabarata itu.Nama lain Batara Ganesa adalah Ganapati,Lambakarna,Gajanana,Karimuka dan Gajawadana.

Minggu, 20 November 2011

SERBA-SERBI WAYANG PURWA



Serba-Serbi tentang Wayang Purwa
Wayang merupakan bentuk konsep berkesenian yang kaya akan cerita falsafah hidup sehingga masih bertahan di kalangan masyarakat jawa hinggga kini.
Disaat pindahnya Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Desa Solo (sekarang Surakarta) membawa perkembangan juga dalam seni pewayangan. Seni pewayangan yang awalnya merupakan seni pakeliran dengan tokoh utamanya Ki Dalang yang berceritera, adalah suatu bentuk seni gabungan antara unsur seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh wayangnya yang diiringi dengan gending/irama gamelan, diwarnai dialog (antawacana), menyajikan lakon dan pitutur/petunjuk hidup manusia dalam falsafah.
Seni pewayangan tersebut digelar dalam bentuk yang dinamakan Wayang Kulit Purwa, dilatar-belakangi layar/kelir dengan pokok cerita yang sumbernya dari kitab Mahabharata dan Ramayana, berasal dari India. Namun ada juga pagelaran wayang kulit purwa dengan lakon cerita yang di petik dari ajaran Budha, seperti cerita yang berkaitan dengan upacara ruwatan (pensucian diri manusia). Pagelaran wayang kulit purwa biasanya memakan waktu semalam suntuk.
Semasa Sri Susuhunan X di Solo seni Pakeliran berkembang medianya setelah didirikan tempat pementasan Wayang Orang, yaitu di Sriwedari yang merupakan bentuk pewayangan panggung dengan pemainnya terdiri dari orang-orang yang memerankan tokoh-tokoh wayang. Baik cerita maupun dialognya dilakukan oleh masing-masing pemain itu sendiri. Pagelaran ini diselenggarakan rutin setiap malam. Bentuk variasi wayang lainnya yaitu wayang Golek yang wayangnya terdiri dari boneka kayu.
Seniman keturunan Cina yang berada di Solo juga kadang menggelar wayang golek cina yang disebut Wayang Potehi. Dengan cerita dari negeri Cina serta iringan musiknya khas cina.
Ada juga Wayang Beber yang dalam bentuknya merupakan lembaran kain yang dilukis dan diceritakan oleh sang Dalang, yang ceritanya berkisar mengenai Keraton Kediri, Ngurawan, Singasari (lakon Panji).
Wayang Klitik adalah jenis pewayangan yang media tokohnya terbuat dari kayu, ceritanya diambil dari babat Majapahit akhir (cerita Dhamarwulan).
Dulu terkadang "wong Solo" memanfaatkan waktu senggangnya membuat wayang dari rumput, disebut Wayang Rumput
Orang jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang bisa hidup dan berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari dan menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Selain sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang jawa merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidup orang jawa mengenai hal-hal kehidupan yang tertuang dalam dilaog dialur cerita yang ditampilkan.
Dalam wayang seolah-olah orang jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, melainkan model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.
Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia dengan manusia lain.
Pertunjukkan wayang terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan upacara adat: perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah, sunatan, dll, dan biasanya disajikan dalam cerita-cerita yang memaknai hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan cerita yang diambil "Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan kelahiran ditampilkan cerita Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil cerita "Murwa Kala/Ruwatan"
KHUSUS WAYANG PURWA
Wayang purwa adalah bagian dari beberapa macam yang ada, diantaranya wayang gedog, wayang madya, wayang klitik purwa, wayang wahyu, wayang wahono dan sebagainya.
Wayang purwa sudah ada beberapa ratus tahun yang lalu dimana wayang timbul pertama fungsinya sebagai upacara menyembah roh nenek moyang. Jadi merupakan upacara khusus yang dilakukan nenek moyang untuk mengenang arwah para leluhur. Bentuk wayang masih sangat sederhana yang dipentingkan bukan bentuk wayang tetapi bayangan dari wayangan tersebut.
Perkembangan jaman dan budaya manusia selalu berkembang wayang ikut pula dipengaruhi bentuk wayang pun berubah, misalnya, bentuk mata wayang seperti bentuk mata manusia, tangan berkabung menjadi satu dengan badannya. Hal ini dipandang kurang enak maka tangan wayang dipisah, untuk selanjutnya diberi pewarna.
Perkembangan wayang pesat pada jaman para wali, diantaranya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan yang lain ikut merubah bentuk wayang sehingga menjadi lebih indah bentuknya.
Langkah penyempurnaan di jaman Sultan Agung Hanyakrakusuma, jaman kerajaan Pajang, kerajaan Surakarta, jaman Pakubuwono banyak sekali menyempurnakan bentuk wayang sehingga tercipta bentuk sekarang ini, dimana telah mengalami kemantapan yang dirasa pas dihati pemiliknya.
Pengaturan wayang
Jumlah wayang dalam satu kotak tidak sama trgantung kepada pemiliknya. Jadi ada wayang yang jumlahnya 350 sampai 400 wayang, ada yang jumlahnya hanya 180 wayag dan ada yang kurang dari 180 wayang. Biasanya wayang yang banyak, wayang yang rangkap serta wanda yang banyak sesuai yang diinginkan. Pengaturan wayang pada layar atau kelir atau disebut simpingan. Di dalam simpingan wayang ada simpingan kanan dan simpingan kiri.
SIMPINGAN KIRI
1. Buto raton (Kumbakarno)
2. Raksasa muda (Prahasta,Suratimantra)
3. Rahwana dengan beberapa wanda
4. Wayang Bapang (ratu sabrang)
5. Wayang Boma (Bomanarakasura)
6. Indarajit
7. Trisirah
8. Trinetra dan sejenisnya
9. Prabu Baladewa dengan beberapa wanda
10. Raden Kakrasana
11. Prabu Salya
12. Prabu Matswapati
13. Prabu Duryudana
14. Prabu Salya
15. Prabu Salya
16. Prabu Matswapati
17. Prabu Duryudana
18. Raden Setyaki
19. Raden Samba
20. Raden Narayana

Keterangan :
Pada contoh diatas hanya secara garis besar saja. Jadi masih banyak nama tokoh yang tidak di cantumkan.
* Wayang Eblekan :
Yaitu wayang yang masih diatur rapi didalam kotak, tidak ikut disimping.
Contoh: Buta brabah, wayang wanara, wayang kewanan (hewan), wayang tatagan yang lain, misal: wadya sabrang buta cakil dan lain-lain.
* Wayang dudahan :
Yaitu wayang yang diletakkan di sisi kanan dhalang.
Contoh: Punakawan, pandita, rampogan, dewa dan beberapa tokoh wayang yang akan digunakan didalam pakeliran.
SIMPINGAN KANAN
Dimulai dari wayang Tuguwasesa diakhiri wayang bayen. Adapun wayang yang disimping adalah sebagai berikut :
1. Prau Tuguwasesa (Tuhuwasesa)
2. Werkudara dari beberapa macam wanda
3. Bratasena dari beberapa macam wanda
4. Rama Parasu
5. Gatotkaca dari beberapa macam wanda
6. Ontareja
7. Anoman dari beberapa macam wanda
8. Kresna dari beberapa macam wanda
9. Prabu Rama
10. Prabu Arjuna Sasra
11. Pandhu
12. Arjuna
13. Abimanyu
14. Palasara
15. Sekutrem
16. Wayang putran
17. Bati

Keterangan :
Wayang tersebut disimping pada debog atau batang pisang bagian atas. Untuk batang pisang bagian bawah hanya terdiri dari simpingan wayang putren.
Simpingan sebelah kiri terdiri atas:
1.Buta raton
2.Wayang buta enom (raksasa muda)
3.Wayang boma
4.Wayang Sasra
5.Wayang Satria

Untuk lebih jelasnya mari kita lihat urutan yang diatur seperti tersebut dibawah ini :
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem, Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).
Pakem Ringgit Wacucal:
Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya, Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata, Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa:

Lakon-lakon: Angruna-Angruni, Mikukuhan, Begawan Respati, Watugunung, Wisnupati, Prabu Namintaya, Nagatatmala, Sri Sadana, Parikenan, Bambang Sakutrem, Bambang Sakri, Bagawan Palasara, Kilatbuwana, Narasoma, Basudewa Rabi, Gandamana Sakit, Rabinipun Harya Prabu Kaliyan Ugrasena, Bima Bungkus, Rabinipun Ramawidura, Lisah Tala, Obong-obongan Pasanggrahan Balesegala, Bambang Kumbayana, Jagal Bilawa, Babad Wanamarta, Kangsa Pragat, Semar Jantur, Jaladara Rabi, Alap-alapan
Surtikanthi, Clakutana, Suyudana Rabi, Jayadrata Rabi, Pandhawa Dulit, Gandamana, Kresna Sekar, Alap-alapan Secaboma, Kuntul Wilanten, Partakrama, Gathutkaca Lair, Setija, Bangun Taman Maerakaca dan Wader Bang (43 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya, Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata, Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem, Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).
Pakem Ringgit Wacucal:
Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).
Pakem Wayang Purwa I:
Ki Prawirasudirja Surakarta.
Lakon-lakon: Angruna Angruni, Bambang Srigati, Bathara Sambodana Rabi, Hendrasena, Ramaparasu, Setyaki Rabi, Bagawan Sumong, Doradresana Makingkin, Tuhuwisesa, Sridenta, Bratadewa, Jayawisesa, Janaka Kembar, Jayasuparta, Endhang Madyasari, Sekar Widabrata, Samba Rabi, Partajumena Rabi, Calunthang dan Carapang.

Cerita Wayang dan Wanita
Kunti adalah sosok seorang ibu yang sangat setia terhadap putra-putranya, hal ini diperlihatkan ketika putranya ( Pandawa ) Menjalani pembuangan di alasa atau hutan Amarta, akibat tipu daya kalah judi dengan saudaranya Kurawa. Kunti sebagai figur seorang ibu raja yang lingkungan hidupnya penuh kemewahan rela mengikuti putra-putranya dalam penderitaan di pembuangan tersebut.
Diceritakan dalam pembuangan tersebut :
Putranya yang masih kecil yaitu: Nakula dan Sadewa mengalami kelaparan akibat kehabisan makanan selama dua minggu tidak pernah meminum susu dan madu lagi, yang biasanya diberikan, sehingga ibu Kunti memerintahkan Arjuna untuk mencarikan kebutuhan tersebut bagi sang putra. Dalam perjalanan mencari susu dan madu Arjuna dikagetkan oleh seorang putri, putri yang amat jelita yang berlari menuju sang Arjuna untuk mengabdikan diri bila sang Arjuna mau menolong dirinya dari kejaran sang lurah yang buruk rupa namun sakti yang ingin mengawininya.
Ketika Arjuna bertemu ki lurah tersebut, dengan bahasa yang santu memohon kepada Arjuna agar sang putri tersebut boleh dimintanya. Dengan rasa haru Arjuna menyanggupi agar si putri mau kembali dan mau diperistri ki lurah tersebut. Ketika Arjuna menyanggupinya, ki lurah berjanji akan memberikan jiwa dan raga bahkan apapun yang diminta oleh Arjuna. Kemudian ki lurah diminta kembali ke padepokannya kemudian Arjuna menemui sang putri sambil berkata " memang sudah kebetulan bahwa Arjuna diperintahkan mencari putri yang cantik yang akan dipersembahkan untuk sang maha raja agar menjadi santapannya "
Mendengar ucapan tersebut sang putri lari ketakutan dan kembali ke padepokan memeluk ki lurah untuk mendapatkan perlindungan karena akan dijadikan santapan ( padahal sebelumnya putri tersebut merasa amat jijik )
Saking senangnya ki lurah buru-buru menjumpai kembali sang Arjuna sambil mengucapkan terima kasih lalu memohon untuk menyatakan : Imbalan apa yang ingin Arjuna ingingkan ? dijawab oleh Arjuna, bahwa ia hanya menginginkan madu dan susu.
Oleh ki lurah dipilihkan madu dan susu yang sangat istimewa, bahkan ki lurah berjanji jika kelak di perang " mahabarata " ki lurah akan mempertaruhkan jiwa dan raga demi keluarga Pandawa. Setelah mendapatkan susu dan madu sang Arjuna menemui kembali sang ibu Kunti, untuk menyampaikan apa yang diperintahkannya. Dengan senang sang ibu menerima apa yang dibawa oleh Arjuna, sambil bertanya dimanakah gerangan engkau mendapatkan susu dan madu sebaik ini. Setelah diceritakan cara mendapatkannya, dengan marah sang ibu berkata untuk tidak melakukan perbuatan ini lagi bahkan membuangnya susu dan madu tadi dengan alasan apabila ini diminumkan kepada adikmu hai Arjuna akan menimbulkan malapetaka kelak dikemudian hari, karena susu dan madu tersebut didapat dengan jalan tidak halal ( ksatria ) yaitu dengan cara memanipulasi.
"Sang Arjuna pun menyesal dan memohon ampun serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi di kemudian hari".
Kesimpulan :
1. Disinilah letak seorang ibu yang dinilai sangat bijaksana dalam memilih makanan pun diperhitungkan bagaimana cara mendapatkannya.
2. Kunti adalah sosok seorang ibu yang penuh pengabdian dan kasih sayang, dan tanggung jawab yang teramat besar terhadap putra-putranya.
3. Kunti adalah ibu yang bijaksana yang dapat memilah dan mimilih mana yang semestinya dan mana yang tidak untuk diberikan kepada putra-putranya

Jumat, 11 November 2011

BIMA



·    BIMA atau Werkudara dikenal pula dengan nama Balawa, Bratasena, Birawa, DEandunwacana, Nagata, Kusumayuda, Kowara, Kusumadilaga, Pandusiwi, Bayuseta, Sena atau Wijasena. Ia putra kedua dari Prabu Pandu, raja negara Astina dengan Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Bima mempunyai 2 orang saudara kandung bernama Puntadewa dan Arjuna, serta 2 orang saudara lain ibu, yaitu Nakula dan Sadewa.
·         BIMA memiliki sifat dan perwatakan; gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur. Ia memiliki keistimewaan ahli bermain gada dan memiliki berbagai senjata antara lain; Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta, sedangkan ajian yang dimiliki adalah aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu dan Aji Blabakpangantol-antol.
·         BIMA juga mempunyai pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu; Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggangNagabandadan celana Cinde Udaraga. Sedangkan berbagai anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh/kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan pupuk Pudak Jarot Asem.
·         Bima tinggal di Kadipaten Jodipati, wilayah negara Amarta. Ia mempunyai 3 orang istri dan 3 orang anak yaitu: 1. Dewi Nagagini, berputra Arya Anantareja, 2. Dewi Arimbi, berputra Raden Gatotkaca, dan 3. Dewi Urangayu, berputra Arya Anantasena.
·         Bima mempunyai akhir riwayat yang diceritakan, mati sempurna (muksa) bersama ke empat saudaranya setelah berakhirnya perang Bharatayuda,
·         (Artikel dan gambar diambil dari buku Mengenal Tokoh Wayang jilid Tiga karya Drs. H. Solichin dan Ki Waluyo.)
·         ARJUNA adalah putra Pandudewanata, raja negara Astinapura dengan Dewi Kunti/Dewi Prita, putri Prabu Basukunti, raja negara Mandura. Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara satu ayah, yang dikenal dengan nama Pandawa. Dua saudara satu ibu adalah Puntadewa dan Bima/Werkudara. Sedangkan dua saudara lain ibu, putra Pandu dengan Dewi Madrim adalah Nakula dan Sadewa.
ARJUNA adalah seorang satria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Durna di Padepokan Sukolima, ia juga sebagai murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi Pandita di goa Mintaraga, bergelar Begawan Ciptaning. Ia dijadikan jago kadewatan membinasakan Prabu niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kayangan Kaindran bergelar Prabu Karitin dan mendapatkan anugerah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain: Gendewa dari Batara Indra, panah Ardadadali dari Batara Kuwera, Panah Cundamanik dari Batara Narada, Panah Pasopati dari Batara Guru.
ARJUNA juga mempunyai pusaka-pusaka sakti lainnya, antara lain: Keris Kyai Kalanadah, Panah Sangkali dari Resi Durna, Panah Candranila, Panah Sirsha, Keris Kyai Sarotama, Keris Kyai Baruna, Keris Pulanggeni diberikan pada Abimanyu, Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani dan Kuda Ciptawilaha dengan cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan,Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama.
ARJUNA mempunyai 18 orang istri dan 16 orang anak. Adapun istri dan anak-anaknya adalah:
Dewi Sumbadra, berputra Raden Abimanyu.
Dewi Larasati berputra Bratalaras
Dewi Srikandi
Dewi Ulupi/Palupi, berputra Bambang Irawan.
Dewi Jimambang, berputra Kumaladewa dan Kumalasakti
Dewi Ratri, berputra Bambang Wijanarko.
Dewi Dresanala, berputra Raden Wisanggeni.
Dewi Wilutama, berputra Bambang wilugangga.
Dewi Manuhara, berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati.
Dewi Supraba, berputra Raden Prabakusuma.
Dewi Antakawulan, berputra Bambang Antakadewa.
Dewi Maeswara, berputra Bambang Priambada.
Dewi Retno Kasimpar.
Dewi Juwitaningrat, berputra Bambang Sumbada.
Dewi Dyah Sarimaya.
Dewi Pamegatsih, berputra Bambang Pamagatrisna.
Dewi Gandawati berputra Bambang Gandawardaya.
Dewi Sulastri, berputra Bambang Sumitra.

ARJUNA juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu: Kampuh atau Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung. Ia juga banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain: Parta (Pahlawan Perang), Janaka (memiliki banyak istri), Permadi (tampan), Dananjaya, Kumbang Ali Ali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Batara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Danaswara (Perayu Ulung) dan Margana (suka menolong).
ARJUNA memilik sifat perwatakan: cerdik, pandai, pendiam, teliti, sopan santun, berani dan suka melindungi yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bharatayuda, arjuna menjadi raja di negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Artjuna di ceritakan, ia muksa (mati sempurna) bersama ke empat saudaranya yang lain.

Kamis, 03 November 2011

Istilah Pewayangan



Berikut ini adalah sebutan yang digunakan dalam dunia pewayangan:Begawan adalah sebutan untuk seorang pendeta yang berasal dari raja yang meninggalkan kerajaan.
Batara atau Betara adalah sebutan untuk tokoh wayang yang berjiwa Ketuhanan, dan merupakan titisan Dewa.
Dahyang: sama dengan sebutan Pendeta.
Dewa: sebutan untuk tokoh wayang yang berjiwa Ketuhanan.
Dewi: sebutan untuk seorang puteri kerajaan atau sebutan untuk dewa perempuan
Yanggan : sebutan rendahan dari tokoh Wasi.
Resi : sebutan untuk seorang yang suci.
Sang: awalan sebutan yang luhur.
Pandita : sebutan seorang yang luhur jiwanya.
Wara : sebutan seorang yang tersohor, baik laki-laki atau perempuan.
Wasi sebutan seorang pendeta yang agak rendahan.
Putut : sebutan seorang murid atau pelayan pendeta.
Cekel: hamba seorang pendeta yang dianggap keluarga.
Cantrik : hamba atau anak murid pendeta.
Prabu : sebutan seorang raja.

Minggu, 23 Oktober 2011

SEMAR: PERWUJUDAN SUNAN KALIJAGA


Masih banyak masyarakat Indonesia yang mengira bahwa Semar adalah ciptaan Sunan Kalijaga. Pendapat tersebut amat keliru karena membaca atau mendengar dari sumber yang salah, atau sengaja memutar balikkan fakta. Tokoh Semar sudah ada pada zaman Pra Islam. Tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.

SEJARAH SEMAR
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.
Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit.
Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.



Kamis, 20 Oktober 2011

WERKUDARA (BIMA/BRATASENA)

BIMA atau Werkudara dikenal pula dengan nama Balawa, Bratasena, Birawa, DEandunwacana, Nagata, Kusumayuda, Kowara, Kusumadilaga, Pandusiwi, Bayuseta, Sena atau Wijasena. Ia putra kedua dari Prabu Pandu, raja negara Astina dengan Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Bima mempunyai 2 orang saudara kandung bernama Puntadewa dan Arjuna, serta 2 orang saudara lain ibu, yaitu Nakula dan Sadewa.
BIMA memiliki sifat dan perwatakan; gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur. Ia memiliki keistimewaan ahli bermain gada dan memiliki berbagai senjata antara lain; Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta, sedangkan ajian yang dimiliki adalah aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu dan Aji Blabakpangantol-antol.
BIMA juga mempunyai pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu; Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggangNagabandadan celana Cinde Udaraga. Sedangkan berbagai anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh/kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan pupuk Pudak Jarot Asem.
Bima tinggal di Kadipaten Jodipati, wilayah negara Amarta. Ia mempunyai 3 orang istri dan 3 orang anak yaitu: 1. Dewi Nagagini, berputra Arya Anantareja, 2. Dewi Arimbi, berputra Raden Gatotkaca, dan 3. Dewi Urangayu, berputra Arya Anantasena.
Bima mempunyai akhir riwayat yang diceritakan, mati sempurna (muksa) bersama ke empat saudaranya setelah berakhirnya perang Bharatayuda,
(Artikel dan gambar diambil dari buku Mengenal Tokoh Wayang jilid Tiga karya Drs. H. Solichin dan Ki Waluyo.)
ARJUNA adalah putra Pandudewanata, raja negara Astinapura dengan Dewi Kunti/Dewi Prita, putri Prabu Basukunti, raja negara Mandura. Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara satu ayah, yang dikenal dengan nama Pandawa. Dua saudara satu ibu adalah Puntadewa dan Bima/Werkudara. Sedangkan dua saudara lain ibu, putra Pandu dengan Dewi Madrim adalah Nakula dan Sadewa.
ARJUNA adalah seorang satria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Durna di Padepokan Sukolima, ia juga sebagai murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi Pandita di goa Mintaraga, bergelar Begawan Ciptaning. Ia dijadikan jago kadewatan membinasakan Prabu niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kayangan Kaindran bergelar Prabu Karitin dan mendapatkan anugerah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain: Gendewa dari Batara Indra, panah Ardadadali dari Batara Kuwera, Panah Cundamanik dari Batara Narada, Panah Pasopati dari Batara Guru.
ARJUNA juga mempunyai pusaka-pusaka sakti lainnya, antara lain: Keris Kyai Kalanadah, Panah Sangkali dari Resi Durna, Panah Candranila, Panah Sirsha, Keris Kyai Sarotama, Keris Kyai Baruna, Keris Pulanggeni diberikan pada Abimanyu, Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani dan Kuda Ciptawilaha dengan cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan,Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama.
ARJUNA mempunyai 18 orang istri dan 16 orang anak. Adapun istri dan anak-anaknya adalah:
Dewi Sumbadra, berputra Raden Abimanyu.
Dewi Larasati berputra Bratalaras
Dewi Srikandi
Dewi Ulupi/Palupi, berputra Bambang Irawan.
Dewi Jimambang, berputra Kumaladewa dan Kumalasakti
Dewi Ratri, berputra Bambang Wijanarko.
Dewi Dresanala, berputra Raden Wisanggeni.
Dewi Wilutama, berputra Bambang wilugangga.
Dewi Manuhara, berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati.
Dewi Supraba, berputra Raden Prabakusuma.
Dewi Antakawulan, berputra Bambang Antakadewa.
Dewi Maeswara, berputra Bambang Priambada.
Dewi Retno Kasimpar.
Dewi Juwitaningrat, berputra Bambang Sumbada.
Dewi Dyah Sarimaya.
Dewi Pamegatsih, berputra Bambang Pamagatrisna.
Dewi Gandawati berputra Bambang Gandawardaya.
Dewi Sulastri, berputra Bambang Sumitra.
ARJUNA juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu: Kampuh atau Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung. Ia juga banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain: Parta (Pahlawan Perang), Janaka (memiliki banyak istri), Permadi (tampan), Dananjaya, Kumbang Ali Ali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Batara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Danaswara (Perayu Ulung) dan Margana (suka menolong).
ARJUNA memilik sifat perwatakan: cerdik, pandai, pendiam, teliti, sopan santun, berani dan suka melindungi yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bharatayuda, arjuna menjadi raja di negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Artjuna di ceritakan, ia muksa (mati sempurna) bersama ke empat saudaranya yang lain.

Sabtu, 08 Oktober 2011

NAKULA SADEWA


NAKULA
NAKULA yang dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat) adalah putra ke-empat Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka.

Nakula lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa (pedalangan Jawa), Nakula juga menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna
Nakula adalah titisan Bathara Aswi, Dewa Tabib.

Nakula mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing.

Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani.

Nakula juga mempunyai cupu berisi, "Banyu Panguripan/Air kehidupan" pemberian Bhatara Indra.

Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia.

Nakula tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta.

Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:

1. Dewi Sayati putri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan

memperoleh dua orang putra masing-masing bernama; Bambang

Pramusinta dan Dewi Pramuwati.

2. Dewi Srengganawati, putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa

yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita,

Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala)

dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung.

Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.

Setelah selesai perang Bharatyuda, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa bersama keempat saudaranya.
SADEWA
SADEWA atau Sahadewa yang dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Tangsen (=buah dari tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan dan dipakai untuk obat) adalah putra ke-lima/bungsu Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan DewiTejawati dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama kakanya, Nakula.

Sadewa juga mempunyai tiga orang saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura, bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna.

Sadewa adalah titisan Bathara Aswin, Dewa Tabib.

Sadewa sangat mahir dalam ilmu kasidan (Jawa)/seorang mistikus.

Mahir menunggang kuda dan mahir menggunakan senjata panah dan lembing.

Selain sangat sakti, Sadewa juga memiliki Aji Purnamajati pemberian Ditya Sapulebu, Senapati negara Mretani yang berkhasiat; dapat mengerti dan mengingat dengan jelas pada semua peristiwa.

Sadewa mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia.

Sadewa tinggal di kesatrian Bawenatalun/Bumiretawu, wilayah negara Amarta.

Sadewa menikah dengan Dewi Srengginiwati, adik Dewi Srengganawati (Isteri Nakula), putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala).

Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Bambang Widapaksa/ Sidapaksa).

Setelah selesai perang Bharatayuda, Sedewa menjadi patih negara Astina mendampingi Prabu Kalimataya/Prabu Yudhistrira.

Akhir riwayatnya di ceritakan, Sahadewa mati moksa bersama ke empat saudaranya

Minggu, 02 Oktober 2011

Pandu Versi Pewayangan Jawa


Dalam pewayangan, tokoh Pandu (Bahasa Jawa: Pandhu) merupakan putera kandung Byasa yang menikahi Ambalika, janda Wicitrawirya. Bahkan, Byasa dikisahkan mewarisi takhta Hastinapura sebagai raja sementara sampai Pandu dewasa.

Masa Muda
Pandu digambarkan berwajah tampan namun memiliki cacat di bagian leher, sebagai akibat karena ibunya memalingkan muka saat pertama kali menjumpai Byasa. Para dalang mengembangkan kisah masa muda Pandu yang hanya tertulis singkat dalam Mahabharata. Misalnya, Pandu dikisahkan selalu terlibat aktif dalam membantu perkawinan para sepupunya di Mathura. Pandu pernah diminta para dewa untuk menumpas musuh kahyangan bernama Prabu Nagapaya, raja raksasa yang bisa menjelma menjadi naga dari negeri Goabarong. Setelah berhasil melaksanakan tugasnya, Pandu mendapat hadiah berupa pusaka minyak Tala.
Pandu kemudian menikah dengan Kunti setelah berhasil memenangkan sayembara di negeri Mathura. Ia bahkan mendapatkan hadiah tambahan, yaitu Puteri Madri, setelah berhasil mengalahkan Salya, kakak sang puteri. Di tengah jalan ia juga berhasil mendapatkan satu puteri lagi bernama Gandari dari negeri Plasajenar, setelah mengalahkan kakaknya yang bernama Prabu Gendara. Puetri yang terakhir ini kemudian diserahkan kepada Dretarastra, kakak Pandu.
Pandu naik takhta di Hastina menggantikan Byasa dengan bergelar "Prabu Pandu Dewanata" atau "Prabu Gandawakstra". Ia memerintah didampingi Gandamana, pangeran Panchala sebagai patih. Tokoh Gandamana ini kemudian disingkirkan oleh Sangkuni, adik Gandari secara licik.

Keluarga
Dari kedua istrinya, Pandu mendapatkan lima orang putra yang disebut Pandawa. Berbeda dengan kitab Mahabharata, kelimanya benar-benar putera kandung Pandu, dan bukan hasil pemberian dewa. Para dewa hanya dikisahkan membantu kelahiran mereka. Misalnya, Bhatara Dharma membantu kelahiran Yudistira, dan Bhatara Bayu membantu kelahiran Bima. Kelima putra Pandu semuanya lahir di Hastina, bukan di hutan sebagaimana yang dikisahkan dalam Mahabharata.

Kematian
Kematian Pandu dalam pewayangan bukan karena bersenggama dengan Madri, melainkan karena berperang melawan Prabu Tremboko, muridnya sendiri.
Dikisahkan bahwa Madri mengidam ingin bertamasya naik Lembu Nandini, wahana Batara Guru. Pandu pun naik ke kahyangan mengajukan permohonan istrinya. Sebagai syarat, ia rela berumur pendek dan masuk neraka. Batara Guru mengabulkan permohonan itu. Pandu dan Madri pun bertamasya di atas punggung Lembu Nandini. Setelah puas, mereka mengembalikan lembu itu kepada Batara Guru. Beberapa bulan kemudian, Madri melahirkan bayi kembar bernama Nakula dan Sadewa.
Sesuai kesanggupannya, Pandu pun berusia pendek. Akibat adu domba dari Sangkuni, Pandu pun terlibat dalam perang melawan muridnya sendiri, yaitu seorang raja raksasa dari negeri Pringgadani bernama Prabu Tremboko. Perang ini dikenal dengan nama Pamoksa. Dalam perang itu, Tremboko gugur terkena anak panah Pandu, namun ia sempat melukai paha lawannya itu menggunakan keris bernama "Kyai Kalanadah". Akibat luka di paha tersebut, Pandu jatuh sakit. Ia akhirnya meninggal dunia setelah menurunkan wasiat agar Hastinapura untuk sementara diperintah oleh Dretarastra sampai kelak Pandawa dewasa. Antara putera-puteri Pandu dan Tremboko kelak terjadi perkawinan, yaitu Bima dengan Hidimbi, yang melahirkan Gatotkaca, seorang kesatria berdarah campuran, manusia dan raksasa.

Naik ke sorga
Istilah Pamoksa seputar kematian Pandu kiranya berbeda dengan istilah moksa dalam agama Hindu. Dalam "Pamoksa", Pandu meninggal dunia musnah bersama seluruh raganya. Jiwanya kemudian masuk neraka sesuai perjanjian. Atas perjuangan putera keduanya, yaitu Bima beberapa tahun kemudian, Pandu akhirnya mendapatkan tempat di surga. Versi lain yang lebih dramatis mengisahkan Pandu tetap memilih hidup di neraka bersama Madri sesuai janjinya kepada dewa. Baginya, tidak menjadi masalah meskipun ia tetap tinggal di neraka, asalkan ia dapat melihat keberhasilan putera-puteranya di dunia. Perasaan bahagia melihat dharma bakti para Pandawa membuatnya merasa hidup di sorga.

Kamis, 15 September 2011

Silsilah Kerajaan Mandura


DEWI MADRIM
DEWI MADRIM atau Dewi Madri adalah putri Prabu Mandrapati, raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Tejawati.
Dewi Madrim mempunyai kakak kandung bernama Narasoma, yang setelah menjadi raja Mandaraka bergelar Prabu Salya.
Dewi Madrim menikah dengan Prabu Pandu, raja negara Astina dan menjadi permaisuri ke dua mendampingi Dewi Kunti.Dari perkawinan tersebut, ia berputra dua orang kembar yang diberi nama Nakula dan Sadewa.Dewi Madrim berwatak penuh belas kasih, setia, sabar dan Wingit.
Akhir riwayat Dewi Madrim diceritakan, ia terjun kedalam Pancaka (api pembakaran jenazah) ikut bela pati atas kematian suaminya, Prabu Pandu. Kedua putra kembarnya, Nakula dan Sadewa yang masih bayi kemudian diasuh oleh Dewi Maerah.

DEWI KUNTI
DEWI KUNTI atau Dewi Prita (Mahabrata) adalah putri kedua Prabu Basukunti, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja.
Dewi Kunti mempunyai tiga orang saudara kandung bernama; Arya Basudewa, Arya Prabu Rukma dan Arya Ugrasena.
Dewi Kunti menikah dengan Prabu Pandu, raja negara Astina, putra Bagawan Abiyasa dengan Dewi Ambiki.
Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna.
Sebelum menikah dengan Prabu Pandu, Dewi Kunti telah mempunyai seorang putra dari Bathara Surya sebagai akibat kesalahannya merapal/membaca mantera Aji Pepanggil/Aji Gineng ajaran Resi Druwasa.

Putranya tersebut bernama Basukarna/Aradea atau Suryatmaja yang setelah menjadi raja di negara Awangga dikenal dengan nama Adipati Karna.

Dewi Kunti sangat menyenangi dan mempelajari ilmu-ilmu kejiwaan/kebatinan.

Dewi Kunti berwatak penuh belas kasih, setia dan wingit.

Dengan penuh kecintaan ia mengasuh dan mendidik dua orang anak tirinya. Nakula dan Sadewa, putra Prabu Pandu dengan Dewi Madrim, melebihi kecintaannya pada putra-putranya sendiri.

Akhir riwayatnya diceritakan, Dewi Kunti mati moksa bersama-sama dengan Dewi Gandari dan Prabu Drestarasta setelah selesainya perang Bharatayuda.

Sabtu, 10 September 2011

PRABU BASUDEWA


PRABU BASUDEWA adalah putra sulung Prabu Basukunti raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja.
Basudewa mempunyai tiga orang saudara kandung masing-masing bernama: Dewi Prita/Dewi Kunti, Arya Prabu Rukma dan Arya Ugrasena.
Prabu Basudewa mempunyai tiga orang isteri/permaisuri dan 4 (empat) orang putra.
Dengan permaisuri Dewi Mahira/Maerah (Jawa) ia berputra Kangsa. Kangsa sebenaranya putra Prabu Gorawangsa, raja raksasa negara Gowabarong yang dengan beralih rupa menjadi Prabu Basudewa palsu dan berhasil mengadakan hubungan asmara dengan Dewi Mahira.
Dengan permaisuri Dewi Mahindra/Maerah (Jawa), Prabu Basudewa memperoleh dua orang putra bernama; Kakrasana dan Narayana. Sedangkan dengan permaisuri Dewi Badrahini berputra Dewi Wara Sumbadra/Dewi Lara Ireng.
Secara tidak resmi, Prabu Basudewa juga mengawini Ken Sagupi, swaraswati Keraton Mandura, dan memperoleh seorang putra bernama Arya Udawa.
Prabu Basudewa sangat sayang kepada keluarganya.
Basudewa pandai olah keprajuritan dan mahir memainkan senjata panah dan lembing.
Setelah usia lanjut, ia menyerahkan Kerajaan Mandura kepada putranya, Kakrasana, dan hidup sebagai pendeta di Pertapaan Randugumbala.
Prabu Basudewa meninggal saat negara Mandura digempur Prabu Sitija/ Bomanarakasura raja Negara Surateleng.

FREE DOWNLOAD

Canvas 12

 Subscribe in a reader